1. Berikan pengertian hukum adat (masing-masing 5 menurut Sarjana Belanda
dan 5 Sarjana Indonesia). Cari persamaan
dan
perbedaan dari pengertian-
pengertian tersebut.
Jawab :
- Hukum
adat menurut 5 Sarjana Belanda adalah sebagai berikut :
a.
Prof. Mr. C. Van Vollenhoven
Dalam buku “Het Adatrecht van Nederland Indie”, jilid 1 halaman 7
memberi pengertian Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber
kepada peraturan-peraturan yang dibuat
oleh pemerintah Hindia Belanda
dahulu atau alat-alat kekuasaan
lainnya yang menjadi sendi nya dan diadakan
sendiri oleh kekuasaan Belanda
dahulu.
b. Mr. J. H. P. Bellefroid
Dalam bukunya
“Inleiding tot de rechtswetenschap
in Nederland” memberi
pengertian hukum
adat sebagai peraturan
hidup yang meskipun
tidak
diundangkan oleh
Penguasa untuk dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan
keyakinan bahwa
peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
(Het gewoonterecht, ook “gewoonte”
genoemd, omvat de rechtsregels, die
hoewel niet op gezag
van de staatsoverheid vastgesteld,
toch door het het
volk worden nageleefd in de
overtuiging, dat zij als recht gelden.”)
c. Mr. B. Terhaar Bzn
Ter Haar
dalam pidato dies
natalis tahun 1930
berjudul : “Peradilan
Landraad berdasarkan hukum tidak tertulis”
serta dalam orasinya
tahun
1937, yang berobyek : “Hukum Adat Hindia Belanda di dalam ilmu, praktek
dan pengajaran”,
menegaskan yang berikut :
a. “Hukum Adat
lahir dari dan
dipelihara oleh keputusan-keputusan,
keputusan para warga
masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa
dari kepala-kepala rakyat
yang membantu pelaksanaan
perbuatan-
perbuatan hukum;
atau dalam hal
bertentangan kepentingan
keputusan
para Hakim
yang bertugas mengadili
sengketa, sepanjang keputusan-
keputusan itu
karena kesewenangan atau
kurang pengertian tidak
bertentangan dengan
keyakinan hukum rakyat,
melainkan senapas-
seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui
atau setidak-tidaknya
ditoleransikan olehnya.”
b. “Hukum Adat
itu dengan mengabaikan
bagian-bagiannya yang tertulis
yang terdiri
dari peraturan-peraturan Desa,
surat-surat perintah Raja
adalah keseluruhan peraturan
yang menjelma dalam
keputusan-
keputusan para
Fungsionaris Hukum (dalam arti
luas) yang mempunyai
wibawa (Macht,
Authority) serta
pengaruh dan yang
dalam
pelaksanaannya berlaku
serta-merta (spontan) dan
dipatuhi dengan
sepenuh hati.” (Fungsionaris
meliputi ketiga kekuasaan yaitu : Eksekutif,
Legislatif, Yudikatif).
Dengan demikian Hukum Adat yang berlaku itu
hanya dapat
diketahui dan dilihat
dalam bentuk keputusan-keputusan
para Fungsionaris
Hukum itu; bukan saja Hakim tetapi juga kepala adat,
rapat desa,
wali tanah, petugas-petugas di
lapangan Agama, petugas-
petugas desa lainnya.
d. Van den Berg dan Salmon Keyzer
Hukum adat itu merupakan penerimaan dari hukum agama yang
dianut oleh
masyarakat.
e. Roelof
van Dijk
Di dalam bukunya : “Pengantar Hukum Adat Indonesia”, mengatakan bahwa
kata Hukum
Adat itu adalah
istilah untuk menunjukkan hukum
yang tidak
dikodifikasikan di
kalangan orang Indonesia asli dan
kalangan orang Timur
Asing (Cina, Arab dan
lain-lainnya).
- Hukum adat menurut 5 Sarjana
Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Prof. Dr. Supomo, S.H.
Dalam karangan
beliau “Beberapa catatan mengenai kedudukan
hukum
adat”, memberi pengertian hukum adat sebagai hukum yang
tidak tertulis di
dalam peraturan-peraturan legislatif
(unstatutory law) meliputi peraturan-
peraturan hidup
yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, untuk
ditaati dan
didukung oleh rakyat
berdasarkan atas keyakinan bahwasanya
peraturan-peraturan tersebut
mempunyai kekuatan hukum.
b. Dr. Sukanto
Dalam buku beliau “Meninjau Hukum Adat Indonesia” mengartikan
hukum
adat sebagai
kompleks adat-adat yang
kebanyakan tidak dikitabkan,
tidak
dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi
mempunyai akibat
hukum.
c. Prof. M. M. Djojodigoeno, S.H.
Dalam buku beliau
“Asas-asas Hukum Adat”
tahun 1958 yang diterbitkan
oleh Yayasan
Badan Penerbit GAMA Yogyakarta, memberi definisi sebagai
berikut : “Hukum
Adat adalah hukum
yang tidak bersumber
kepada
peraturan-peraturan.”
d. Bushar Muhammad
Mengatakan bahwa
membuat definisi mengenai Hukum Adat itu sulit sekali
karena :
1. Hukum Adat itu masih dalam
pertumbuhan.
2. Hukum Adat
secara langsung selalu
membawa kepada 2 keadaan yang
justru merupakan sifat dan
pembawaan Hukum Adat itu, ialah :
a. Tertulis atau tidak
tertulis;
b. Pasti atau tidak pasti;
c. Hukum Raja atau Hukum
Rakyat; dan sebagai nya.
e. Suroyo Wignjodipuro
Hukum adat
adalah suatu kompleks
norma-norma yang bersumber pada
perasaan keadilan rakyat yang
selalu berkembang serta
meliputi peraturan
tingkat laku
manusia dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat,
sebagian besar tidak tertulis,
karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
- Persamaan
dan Perbedaan nya adalah :
-
Persamaan nya adalah :
-
Prof. M. M. Djojodigoeno, S.H.
dan Prof. Mr. C. Van Vollenhoven
mempunyai pengertian,”Hukum Adat
adalah hukum yang tidak bersumber
kepada peraturan-peraturan.”
-
Prof. Dr. Supomo, S.H. dan Mr. J.H.P. Bellefroid mempunyai
pengertian,
“Hukum Adat adalah
peraturan hidup meskipun
tidak diundangkan oleh
Penguasa untuk
ditaati dan didukung oleh rakyat
dengan keyakinan bahwa
peraturan-peraturan tersebut
mempunyai kekuatan hukum.
- Dr. Sukanto dan Roelof van
Dijk mempunyai pengertian, Hukum Adat
adalah hukum yang tidak di
kodifikasi.
-
Perbedaan nya adalah :
-
Bushar Muhammad
Mengatakan bahwa
membuat definisi mengenai Hukum Adat itu sulit
sekali karena :
1. Hukum Adat itu masih dalam
pertumbuhan.
2. Hukum Adat
secara langsung selalu
membawa kepada 2
keadaan
yang justru merupakan sifat
dan pembawaan Hukum Adat itu, ialah :
a. Tertulis atau tidak
tertulis;
b. Pasti atau tidak pasti;
c. Hukum Raja atau Hukum Rakyat; dan
sebagai nya.
- Van den Berg dan Salmon Keyzer
Hukum adat itu merupakan penerimaan dari
hukum agama yang dianut oleh
masyarakat.
- Mr. B. Terhaar Bzn
Ter Haar dalam
pidato dies natalis
tahun 1930 berjudul
: “Peradilan
Landraad berdasarkan hukum tidak tertulis”
serta dalam orasinya
tahun
1937, yang berobyek : “Hukum Adat Hindia Belanda di dalam ilmu,
praktek
dan pengajaran”,
menegaskan yang berikut :
a. “Hukum Adat
lahir dari dan
dipelihara oleh keputusan-keputusan,
keputusan para warga
masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa
dari kepala-kepala rakyat
yang membantu pelaksanaan
perbuatan-
perbuatan hukum;
atau dalam hal
bertentangan kepentingan
keputusan
para Hakim
yang bertugas mengadili
sengketa, sepanjang keputusan-
keputusan itu
karena kesewenangan atau
kurang pengertian tidak
bertentangan dengan
keyakinan hukum rakyat,
melainkan senapas-
seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui
atau setidak-tidaknya
ditoleransikan olehnya.”
b. “Hukum Adat
itu dengan mengabaikan
bagian-bagiannya yang tertulis
yang terdiri
dari peraturan-peraturan Desa,
surat-surat perintah Raja
adalah keseluruhan peraturan
yang menjelma dalam
keputusan-
keputusan para
Fungsionaris Hukum (dalam arti
luas) yang mempunyai
wibawa (Macht,
Authority) serta
pengaruh dan yang
dalam
pelaksanaannya berlaku
serta-merta (spontan) dan
dipatuhi dengan
sepenuh hati.”
(Fungsionaris meliputi ketiga kekuasaan yaitu : Eksekutif,
Legislatif, Yudikatif).
Dengan demikian
Hukum Adat yang berlaku itu hanya
dapat diketahui
dan dilihat dalam bentuk
keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum
itu; bukan saja Hakim
tetapi juga kepala adat, rapat
desa, wali tanah,
petugas-petugas di
lapangan Agama, petugas-petugas
desa lainnya.
- Suroyo Wignjodipuro
Hukum adat adalah
suatu kompleks norma-norma
yang bersumber pada
perasaan keadilan rakyat yang selalu
berkembang serta meliputi
peraturan
tingkah laku manusia dalam
kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat,
sebagian besar tidak tertulis, karena
mempunyai akibat hukum (sanksi).
2. Jelaskan sejarah politik hukum adat di
Indonesia (mulai dari zaman Hindu, zaman
Islam, zaman Belanda, dan zaman setelah
Indonesia merdeka)
Jawab :
I. Hukum adat di zaman Hindu
Perkembangan hukum adat
sebagai aturan rakyat di zaman hindu
berlaku sejak
zaman melayu polinesia,
zaman hindu sriwijaya, mataram I, majapahit sampai
timbulnya
kerajaan-kerajaan Islam.
1. Zaman Melayu Polinesia
Menurut para ahli sejarah nenek moyang
bangsa Indonesia meninggalkan
daratan asia dan
memasuki kepulauan Indonesia berlaku sejak sekitar
tahun
1500 SM sampai dengan
300 SM. Kedatangan
mereka di Indonesia terjadi
dalam dua gelombang,
gelombang pertama disebut proto malaio
(melayu tua)
dan gelombang kedua
disebut deutro malaio (melayu muda).
Besar kemungkinan diantara kelompok melayu muda itu sudah dipengaruhi
ajaran filsafat
konghuchu (551 SM-479 SM) yang membedakan
antara “li”
(adat sopan santun)
dan “yen” (cinta
kasih sesama manusia). Sehingga
diantara masyarakat adat di
berbagai kepulauan sudah dipengaruhi ajaran
filsafat.
Sedangkan pada kelompok-kelompok masyarakat melayu tua perilaku
budayanya masih serba
dipengaruhi zat-zat kesaktian. Sebagaimana dikatakan
M. Yamin kebanyakan masyarakat di pengaruhi
oleh lima jenis zat kesaktian,
yaitu “paduan
kesaktian”, bahwa di sekitar manusia itu ada yang gaib
mengawasi
kehidupannya; “sari kesaktian”, bahwa di
dalam diri manusia itu
ada jiwa semangat;
“sang hyang kesaktian”, bahwa ada
tuhan yang kuasa;
“pengantara
kesaktian”, bahwa ada manusia yang dapat
berhubungan dengan
yang gaib. (M. Yamin,
1960: 63-83).
2. Zaman Sriwijaya
Zaman hindu-buddha dimulai
sejak berdirinya Negara sriwijaya yang berpusat
di Palembang. Negara Sriwijaya hidup sejak abad ke-7 sampai
abad 13.
Dengan masuknya pengaruh
ajaran-ajaran Hindu-Buddha
dari India ke
kepulauan Indonesia, maka di
pusat-pusat pemerintahan
kerajaan berlaku
hukum Hindu-Buddha yang bercampur
dengan
hukum adat setempat,
sedangkan di daerah-daerah
pedalaman
berbagai
masyarakat adat tetap
berpegang dengan hukum
adat setempat yang tumbuh dan berkembang dengan
di sana-sini
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hindu-budha.
Bentuk hukum tertulis yang
merupakan peraturan perundangan dari kekuasaan
pemerintahan di zaman Sriwijaya
yang dapat kita ketahui di masa sekarang,
adalah dalam bentuk
“prasasti” yang ditulis
diatas batu atau tembaga. Salah
satu dari prasasti tersebut menyerukan kepada para dewa dan makhluk
tinggi
agar melindungi
kedatuan sriwijaya dan kutukan
terhadap mereka yang tidak
setia kepada datu
sriwijaya dan kebahagiaan bagi mereka yang mengabdi.
Dalam abad ke-8 di masa
kekuasaan dinasti sriwijaya di Jawa di jaman Raja
Sanjaya kaidah-kaidah
yang bersifat hukum bercampur dengan uraian tentang
keadaan keagamaan,
pemerintahan, perekonomian, pertanian, dan sebagainya.
Di antara prasasti
zaman Sriwijaya dari abad ke-8 dan
abad ke-9 yang
mengandung hukum dimana
dipercaya oleh masyarakatnya sebagai mengatur
tentang keagamaan, perekonomian, pertambangan, kekayaan,
pertanahan,
pengairan dan peradilan perkara perdata.
3. Zaman Mataram I
Sampai abad ke-10 Jawa Barat
masih tetap berada di bawah pengaruh
kekuasaan sriwijaya, sedangkan
jawa tengah dan Jawa Timur cenderung untuk
bersatu dan memisah dari
pengaruh Sriwijaya. Disekitar tahun 907 putera
mahkota balitung
diangkat menjadi raja mataram I (rakai Mataram
I). Dalam
menjalankan pemerintahan dari pusat
pemerintahan di medang (prambanan).
Raja balitung didampingi Da-tso-kan-hiyung (perdana menteri)
yang di bantu
oleh empat menteri dan membawahi 28 daerah
kabupaten. Para pejabat
kehakiman bergelar
“samgat-i-tiruan” dan “samgat-mahwi”.
Sampai abad ke-13
dan berdirinya kerajaan
Majapahit (1294) aturan-aturan
hukum perundang-undangan yang berbentuk
prasasti
batu, piagam atau
berdasar berita dari
luar (cina) yang kita sebut rangkaian zaman Mataram I.
Pada saat itu ketika
kerajaan Mataram I (Medang) diubrak-abrik
raja Wura-
Wari dari Sriwijaya
pada tahun 1006
pangeran
Airlangga dengan beberapa
pengikutnya yang setia
menyingkir ke tempat
pertapaan di Wonogiri. Pada
tahun 1010 ketika ia
berumur 20 tahun rakyat dan para brahma memohon agar
Airlangga bersedia
menjadi raja kembali. Dari prasasti lembaran tembaga yang
ditemukan di ilir Surabaya
menunjukkan pada tahun
1019 Airlangga telah
menguasai daerah pedalaman antara Surabaya dan pasuruan.
Menurut piagam
batu cibadak tahun 1030
dapat diketahui bahwa daerah jawa barat masih tetap
dibawah pengaruh
sriwijaya.
Kemudian dari kedua kerajaan
yang ditinggalakan airlangga setelah wafat
(1049). Ternyata yang bangkit membuat sejarah adalah Kediri,
terutama di
masa Jayabaya (1135-1157) yang mengadakan hubungan
internasional dengan
Cina. Dari berita Cina kita
dapat mengetahui betapa makmur sejahteranya
kerajaan Kediri. Setelah berakhirnya kekuasaan dinasti Mpu Sindok
di Kediri
pada tahun 1222, maka
berakirlah kekuasaan dinasti pemerintahan berdasarkan
hukum Hindu-Buddha, digantikan oleh dinasti
kekuasaan baru yang asli
berdasarkan hukum hindu
java, yang dalam uraian ini merupakan zaman pra-
majapahit, yaitu berdirinya
kerajaan singosari
oleh Ken Arok, seorang raja
dari rakyat yang
jelata.
4. Zaman Majapahit
Dari kitab puisi Negarakartagama (1365) dan kitab prosa pararaton (1481)
dapat kita ketahui betapa raja Kertajaya, raja Kediri yang terakhir
dapat
dijatuhkan oleh
Ken Arok, yang kemudian mendirikan kerajaan Singosari.
Ken Arok menjadi raja Singosari pertama berkududukan di ibukota kutaraja
(tumapel) dengan gelar
Rajasa. Selama pemerintahannya (1222-1227)
Rajasa
mengembangkan hukum di
bidang pemerintahan dan pertahanan. Diantara raja
yang terkenal dizaman
singosari ialah raja kertanagara(1268-1292). Pada tahun
1275 ia mengirim ekspedisi militer
pamalayu
ke
melayu-jambi. Ketika
ekspedisi ini kembali ke Jawa dibawa serta dus puteri
melayu ialah dara petak
dan dara jingga. Pada tahun 1280 raja cina kubilai
khan menirim utusan untuk
menundukkan kertanegara tidak berhasil,
kemudian pada tahun 1289 datang
lagi utusan cina, bukan diterima
dengan baik, melainkan dilukai mukanya,
akibatnya Kubilai Khan
mempersiapkan tentaranya untuk menyerang jawa.
Sementara itu terjadi
pemberontakan Jayakatwang pada tahun
1292 yang
berakibat raja Kertanegara gugur dalam pertempuran
istana. Salah seorang
panglima dan menantu Kertanegara
adalah Raden Wijaya, menyingkir dan
berlindung pada Adipati Sungeneb (Madura)
Arya Wiraraja. Kemudian atas
anjuran Wiraraja. Maka Raden Wijaya mengabdi
kembali kepada Jaya
Katwang dan mendapat
tanah tandus terik. Di atas tanah tandus terik
dimana
terdapat buah maja yang
pahit Raden Wijaya dan para pengikutnya mendirikan
desa yang dinamakannya
maja pahit.
Dimasa kekuasaan raja
jayanegara (1309-1328) banyak terjadi pemberontakan.
Sehingga bangkitnya
Gajahmada menjadi abdi negara pada tahun 1319.
Jayanegara digantikan ratu pemangku
bhre kahuripan anak raden wijaya dari
Isteri pertama.
Ratu pemangku ini dengan
suaminya kertawardhana
menurunkan putra
bernama Hayam Wuruk. Pada tahun
1343 maha menteri
Adityawarman kembali ke Melayu,
kemudian memindahkan pusat kerajaan
Dharmasraya (sijunjung)
ke batang bengkawas di kaki gunung
merapi. Ketika
Islam telah memulai
berkembang dari aceh. Hayam wuruk dinobatkan menjadi
raja majapahit ke-4
pada umur 16 tahun dengan gelar rajasanegara ia dapat
menjalankan pemerintahan Negara dengan
baik karena didampingi
dengan
Majapatih. Gajahmada yang telah menjadi perdana menteri
sejak tahun 1331.
Sistem pemerintahan Negara di zaman Hayam Wuruk dan gajahmada
yaitu
adanya pemerintahan
umum, kehakiman dan peradilan serta politik luar negeri.
Sejak wafatnya hayam wuruk
pada tahun 1389 dan menyingkirnya dan terus
menghilangnya Gajahmada, maka para raja penggantinya
yang kemudian,
tidak ada lagi yang
dapat mengembalikan seperti kejayaan majapahit dimasa
hayam wuruk
dan Gajahmada. Negara terus merosot pamornya sampai masa
raja-raja terakhir
inilah timbul cikal-bakal raja-raja demak dan mataram II.
Menurunnya kerajaan maja pahit dikarenakan
masuknya pengaruh Islam sejak
akhir abad ke-14 dan
permulaan abad ke-15 secara damai di bawah pimpinan
para wali, Maulana
Malik Ibrahim yang wafatnya di Gresik tahun 1419.
II. Hukum Adat di Zaman Islam
1. Zaman Aceh Darussalam
Agama Islam memasuki
kepulauan Indonesia dimulai dari daerah Aceh pada
pertengahan akhir abad ke-12,
dengan
berdirinya kesultanan
perlak,
Samudera Pasai dan Aceh Darussalam.
Kesultanan perlak terletak disebelah
timur Samudera
Pasai, yang didirikan pedagang
Arab yang kawin dengan
puteri marah perlak dan melahirkan Sultan perlak yang
pertama, yaitu Sayid
Abdul Aziz dengan gelar Alaidin Syah (1161-1186). Setelah
berdirinya
Kesultanan perlak selama 83
tahun, maka pada tahun 1243 kesultanan ini
digabungkan dengan kesultanan Samudera
Pasai
yang berdiri
pada
pertengahan akhir
abad ke-13.
Pada tahun 1521
kerajaan Samudera Pasai diserang dan diduduki
tentara
portugis, sehingga
para pedagang islam menyingkirkan diri ke daerah-daerah
lain di Indonesia. Pada tahun 1524
Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan
Aceh besar
merebut kembali Samudera Pasai dari
tangan Portugis setelah
tewasnya panglima Portugis
ruy de bruto setelah Mughayat Syah wafat pada
tahun 1530. Maka
penggantinya yaitu puteranya Sultan Alaudin Riayat Syah
Al-kahhar yang dapat
mengembangkan kerajaannya sampai dikenal di luar
negeri.
Setelah itu, di
zaman kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) daerah
kekuasaan hampir meliputi
daerah seluruh pulau sumatera-bengkulu,
tetapi
untuk kesekian
kalinya berusaha perang untuk menghalau portugis dari bumi
malaka tidak
berhasil. Kemudian sultan iskandar muda wafat dalam umur 46
tahun pada tanggal
27 Desember 1636, ia digantikan
Sultan Iskandar Tsani
yang hanya
memerintah selama 5 tahun (1636-1641).
Kemudian Iskandar Tsani digantikan puteri
Iskandar Muda yaitu Sultanah
Taj’al alam yang memerintah selama 34 tahun (1641-1675).
Patut
diperhatikan bahwa wafatnya
Iskandar Tsani dikarenakan
kelicikan
penjajahan Belanda (VOC). Sultanah Taj’al Alam wafat pada tanggal
23
Oktober 1675 dengan meninggalkan keadaan Negara yang semakin rapuh
persatuannya.
Kemudian dipilihlah sultan yang selanjutnya untuk meneruskan kerajaan ia
yaitu, Sultan Alaudin
Muhammad Johansyah
(1781-1795). Selama
berlangsungnya kekuasaan
Sultan M. Johansyah akhirnya
wafat pada tahun
1795,
Darussalam Aceh masih diperintah oleh beberapa
sultan, yang
kedudukannya hanya sebagai lambang
dan kekuasaannya sebenarnya
dipegang oleh panglima sagi dan
ulue baling, sampai Belanda menyatakan
perang dengan resmi
terhadap kerajaan aceh pada tanggal 2 maret 1873.
2. Zaman Demak
Termasuk dalam zaman
ini ada empat kerajaan Islam di Jawa yang ada
kaitannya yaitu
kerajaan Demak, Pajang, Mataram II, dan
Banten. Keempat
kerajaan ini dilaksanakan berdasarkan hukum islam
dan hukum adat, serta
peraturan-peraturan kerajaan masing-masing. Disekitar abad ke-15 daerah
Demak masih di bawah kekuasaan Majapahit. Kemudian yang memimpin
kekuasaan kerajaan pada waktu
itu ialah raden patah dimana ia wafat
pada
tahun 1518 dan
digantikan oleh puteranya adipati unus yang menjadi bupati
di Jepara. Adipati
Unus menjadi raja berlangsung
selama 3 tahun dan
kemudian digantikan oleh
pamannya Pangeran Trenggana yang menjadi
Sultan Demak selama
25 tahun.
Setelah wafatnya Trenggana
terjadi perebutan kekuasaan antara Jaka Tingkir
menantu Trenggana menjadi bupati panjang dengan Aria Penangsang anak
saudara Trenggana. Selama 36
tahun berdirinya
Kerajaan Panjang (1546-
1582).
Penyebaran islam men-dai tersendat-sendat karena masyarakat sekitarnya
masih banyak
dipengaruhi ajaran syiwa Buddha, yang kemudian melahirkan
faham kejawen.
Ajaran kejawen ini lebih mengutamakan hakekat daripada
syariat. Akibat hukum islam yang berlaku bercampur
aduk dengan
sisa-sisa hukum
hindu, dan menjelma ke dalam hukum adat.
3. Zaman Mataram II
Sultan Mataram II yang
berpengaruh adalah Mas Rasrangsang yang bergelar
Panembahan Aagung Senopati
Ing Alogo Ngabdurahman, yang disingkat
Sultan Agung,
memerintah kerajaan selama 32 tahun (1613-1645).
Kemudian lambat laun
yang berlaku adalah penyelesaian perkara padu dan
sistem peradilan setempat yang dipengaruhi
oleh Islam dan penyebaran
agama Islam di Jawa
Barat perubahan mana bertambah sejak Sultan Agung
digantikan Amangkurat
I (1646-1647). Karena sistemnya yang sangat lemah
seluruh daerah pesisir
Jawa jatuh ke tangan pemberontakan, dan akhirnya
kedudukan Amangkurat I digantikan oleh puteranya
Adipati Anom sebagai
Amangkurat II (1677-1703). Amangkurat II pun jatuh masa
jayanya dengan
pemberontakan atas Trunojoyo dan banyak kehilangan daerah kekuasaan
yang diambil oleh
VOC dimana perjanjian yang telah disepakatinya.
Sejak tahun 1703 yang
menjadi Raja Mataram adalah Amangkurat III (1703-
1708). Sejak masa
itu berangsur-angsur daerah mataram menjadi kecil
dikarenakan perang
saudara. Setelah itu, runtuhlah kerajaan mataram di masa
Sultan Paku Buwono II (1727-1749)
yang menyerahkan kerajaan Mataram
kepada VOC, sampai
akhirnya menjadi kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta
dengan empat orang
raja.
4. Zaman Cirebon dan Banten
Fatahilllah salah seorang panglima dari Demak, kemudian bersama dengan
Sunan Gunung
Jati, dapat menundukkan Sunda Kelapa pada tahun
1527,
setelah menundukkan
Banten,yang ketika itu merupakan kota pelabuhan dari
Pajajaran kemudian
Banten diserahkan oleh Sunan
Gunung Jati kepada
puteranya Maulana
Hasanudin yang menjadi Sultan Banten pertama (1522-
1570).
Dari hasil penelitian yang kemudian dilakukan VOC, dapat
diketahui bahwa
hukum yang berlaku di daerah
Periangan
masih sangat
dipengaruhi
oleh hukum dan
peradilan menurut sistem dari masa pengaruh kekuasaan
Sultan Agung
Mataram. Sistem yang berlaku
adalah peradilan agama,
peradilan drigama,
peradilan Cilaga, sedangkan hukumnya berdasarkan
hukum islam dan
hukum adat lama.
Oleh karena sifat hubungan
antara pemerintah kesultanan di Banten
dengan
daerah lampung yang
dipengaruhinya bersifat protektorat (pelindung).
Seperti halnya di
daerah Lampung beberapa kepala adat ditetapkan sebagai
punggawa kesultanan
Banten untuk mengurus kaum kerabatnya
masing-
masing. Dengan
demikian di Lampung sampai masa kekuasaan Raden Inten
berakhir (1856) untuk
urusan agama berlaku hukum Islam dan
untuk urusan
umum berlaku kitab
kutara adat Lampung.
5. Kerajaan dan Persekutuan
Adat Lainnya
Masih terdapatnya
beberapa kerajaan Islam
kecil-kecil, baik di Sumatera,
Kalimantan, Nusa
Tenggara, Bali dan Maluku. Kerajaan-kerajaan tersebut
juga mempunyai
aturan-aturan undang-undang rajanya masing-masing.
Begitupula halnya dengan berbagai persekutuan-persekutuan hukum adat
di berbagai pedesaan di seluruh nusantara ini, mempunyai pula berbagai
aturan-aturan adanya yang
tertulis dan tidak
tertulis. Sebagian besar kitab
perundangan asli tersebut
kita ketahui setelah adanya penemuan
orang-
orang barat dari
zaman VOC dan pemerintah Hindia Belanda.
III. Hukum dan Peradilan Di Zaman Kompeni
1. Zaman VOC
Pada tanggal 20 Maret
1602 di negeri Belanda dibentuk suatu perserikatan
dagang besar sebagai gabungan dari berbagai perusahaan
untuk
melaksanakan perdagangan
di Hindia Timur. Perserikatan itu dinamakan
Vereenigde Oost-Indiesche Compagnie (VOC) atau perserikatan dagang
(kompeni) Hindia Timur.
Untuk mencapai tujuannya yaitu mendapatkan laba.
Pada tanggal 30 Mei
1619, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon
Coen dapat
menduduki Jakarta dari tangan kesultanan Banten dan mendirikan
benteng
Batavia. Berdasarkan
resolusi tanggal 24 Maret 1960
VOC mengangkat
seorang baljiuw yang berkedudukan sebagai kepala urusan jutisi dan
merangkap pula
sebagai kepala kepolisian untuk daerah Jayakarta.
Hukum perundangan
yang digunakan
dalam memeriksa dan mengadili
perkara ketika itu
adalah aturan-aturan dalam bentuk plakat dan
ketetapan-
ketetapan VOC. Jika dari peraturan-peraturan
tersebut tidak cukup maka
dilihat juga
hukum Belanda Kuno
dan hukum Romawi. Yang bertindak
sebagai penuntut umum
dalam perkara pidana adalah Adpokat Piskal. Dalam
tahun 1651 di
dalam College Van Schepenen ditempatkan seorang landrost
yang bertugas sebagai penuntut umum perkara pidana yang
diajukan kepada
Schepenbank
Batavia.selain itu, menurut Papakem Cirebon diatur tentang
peradilan dengan 7
orang jaksa, sehingga disebut Jaksa Pepitu.
Apabila dalam peradilan
Jaksa Pepitu tidak tercapai
kesepakatan untuk
mengambil suatu keputusan mengenai suatu perkara, maka
perkara itu
diteruskan pada sidang peradilan para temanggung yang anggotanya terdiri
dari 4 orang patih dari masing-masing kesultanan. Dengan resolusi
tanggal 7
November 1754
Gubernur Jenderal Mossel memerintahkan
kepada
Gocommitteeerde Freyer menyusun suatu kitab hukum
perundangan bagi
peradilan di
daerah-daerah jajahan VOC, yang
diberi nama Compendium
Freyer, tetapi
pada kenyataannya tidak
semua
ketentuan hukum
Compendium tersebut dapat berjalan
lancar, dikarenakan aturan-aturannya
kebanyakan berdasarkan hukum Islam, terutama yang menyangkut hukum
waris yang berbeda
dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.
2. Zaman Daendels
Dalam tahun 1795 negeri
belanda yang semula merupakan Republic Der
Zeven vereenigde
nederlanden berubah menjadi bataafse republiek. Pada
tahun 1798
pemerintah bataafse republiek membatalkan hak oktroi VOC dan
semua harta kekayaan
dan hutang-hutangnya diambil alih oleh Betaafse
Republiek.
Selanjutnya mengenai
perubahan hukum dan peradilan oleh Daendels untuk
daerah kota
jayakarta dan sekitarnya, dilakukannya perubahan pejabat dalam
Raad Van Justitie
yang telah berubah menjadi Hoogeraad.
Begitupula berdasarkan
keputusannya tanggal
15 Maret 1808 lingkungan
kekuasaan
schepenbank diadakannya perubahan.
Peradilan sipil dan kriminal
diserahkan kepada Drossaard sedangkan
Gecommitteerde Tot En
Over
De Zaken Van Den Inlander dan peradilan
Heemraden dihapus.
Di setiap ibu kota kabupaten di Jawa
Tengah dan di Jawa Timur dibentuk
pula Vredegerecht yang merupakan
peradilan untuk memeriksa perkara-
perkara kecil.
Vredegerecht ini diketuai oleh bupati yang di
dampingi oleh
penghulu dengan beberapa anggota.
Jadi perubahan-perubahan yang
dilakukan oleh
daendels telah meletakkan dasar-dasar bagi susunan peradilan
di masa akan
datang. Hanya sayangnya
di dalam pelaksanaan
Daendels
sendiri terlalu
banyak mencampuri urusan peradilan,
bahkan
seringkali
mengambil keputusan yang kejam menyimpang
dari ketentuan peradilan
yang telah
digariskannya sendiri.
3. Zaman Raffles
Dikarenakan tindakan-tindakannya yang
kasar dan kejam, begitupula dengan
menyangkut kelemahannya dalam masalah keuangan, maka ia
digantikan
pada tanggal 16 Mei 1811 oleh Gubernur Jenderal Jan William
Janssens
dengan memikul tugas
memperbaiki keadaan dalam negeri dan menghadapi
ancaman Inggris. Belum lagi Janssens
mantap duduk memerintah,
pada
tanggal 4 Agustus
1811 ekspedisi tentara
Inggris yang langsung dipimpin
oleh Lord Minto dengan
sekretarisnya
Sir
Thomas Stamford
Raffles
mendarat di jawa.
Tujuan yang baik
dari pemerintahan
Raffles itu kebanyakan hanya diatas
kertas saja, karena ia
terlalu banyak suka berteori. Menurut
proklamasi
tanggal 21 Januari
1812, Raffles melakukan
perubahan
dalam susunan
organisasi peradilan
menurut bangun hukum
Inggris yaitu memisahkan
antara badan-badan
pengadilan dan magistrat yang dirubahnya.
Disamping itu masih
ada lagi pengadilan magistirat yang mengadili perkara
pelanggaran
kecil-kecil. Di Jayakarta ada 4 magistrat. Magistrat ini bertindak
sebagai Pitonele Juristidictie, seperti
di masa VOC mempunyai tugas
kepolisian dan
peradilan kepolisian.
Dengan demikian
di masa kekuasaan Raffles hukum adat rakyat dihormati
keberlakuannya, oleh karena
ia menganggap bahwa hukum adat itu sesuai
dengan kesadaran
hukum rakyat. Apa yang dimaksud dengan hukum
rakyat
atau hukum
adat di zaman Raffles adalah
sesungguhnya hukum Islam yang
terdapat di dalam
kitab-kitab hukum
yang ada. Oleh karena
itu, Raffles
bertentangan dengan
panitia Meckenzie yang menyatakan bahwa hukum
adat itu tidak terdapat
di dalam buku-buku,
namun harus diteliti dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari.
IV. Hukum Adat Setelah Kemerdekaan
1. Zaman Jepang
Pada tanggal 9 Maret
1942
pemerintah Hindia Belanda
bertekuk lutut
menyerah tanpa syarat
kepada Jepang. Gubernur
Jenderal Tjarda Van
Starkenborgh
stachouwer dibawa jepang ke Taiwan. Namun pada tanggal 14
Agustus 1945 Jepang
terpaksa menyerah kepada sekutu akibat bom atom
yang dijatuhkan
Amerika pada tanggal
6 Agustus 1945 di Hiroshima. Hal
mana berarti Indonesia di duduki Jepang hanya selama tiga
tahun lima bulan
lima hari.
Selama pemerintahan Jepang pada umumnya yang berlaku
adalah hukum
militer, hukum
perundangan apalagi hukum adat tidak mendapat
perhatian
sama sekali.
Mendekati tahun 1945
orang-orang Jepang mulai berbaik hati, terlihat
bendera merah putih telah dapat berkibar di samping
bendera Hinomaru.
Pada tanggal 28 Mei
1945 Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan (PPPK)
yang diketuai Dr. Radjiman Wediodeningrat.
2. Zaman Perjuangan
Proklamasi kemerdekaan
RI pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah
berdasarkan hukum adat, sebagai kelanjutan dari keputusan
kongres pemuda
Indonesia pada tahun 1928 dan perjuangan pada pergerakan kemerdekaan
Indonesia sebelumnya. Dikatakan berdasarkan hukum adat
oleh
karena
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan penjajahan di atas
dunia harus
dihapuskan karena
tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan
peri keadilan.
Demikian dinyatakan
dalam alinea pertama
Piagam Jakarta
yang
ditandatangani
soekarno, hatta dan tujuh pemimpin yang
lainnya. Isi piagam
tersebut kemudian
menjadi pembukaan UUD 1945.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPPK mengadakan
rapat yang dipimpin
Soekarno dan Moh. Hatta dengan ke-16 orang anggotanya, ketika itu
diumumkan berlakunya
UUD 1945 dan Kommite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) mengadakan
rapatnya yang pertama. Walaupun dalam UUD tersebut
tidak digunakan istilah Pancasila dan hukum adat, namun dari pembukaan
UUD 1945 itu dapat diketahui adanya
unsur-unsur Pancasila dan hukum
adat. Pada tanggal
17 Maret 1947 di balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada
Djogjakarta, Prof. Mr. DR. R. Soepomo menyampaikan pidato dies
berjudul
“kedudukan hukum
adat di kemudian hari” yang isinya menguraikan tentang
hukum adat yang
tidak berbeda dengan pendapat Van Hollenhoven.
3. Sejak UUDS 1950
Berdasarkan piagam persetujuan antara
delegasi Republik Indonesia dan
delegasi BFO atau pertemuan untuk permusyawaratan
federal di
Scheveningan Belanda
(Agustus-Oktober 1949) lahirlah
konstitusi RIS yang
dinyatakan berlaku
pada tanggal 6 Februari 1950.
Di dalam konstitusi
RIS mengenai hukum adat antara lain, pasal 144 (1)
aturan-aturan hukum adat yang menjadi dasar hukuman. Namun ketentuan-
ketentuan tersebut
dapat dikatakan tidak pernah digunakan oleh karena sejak
tanggal 17 Agustus
1950 (Ln. 50-56) telah berlaku UUDS, yang
mengambil
alih
ketentuan-ketentuan tersebut.
Djojodigoeno pada tahun 1958 mengemukakan bahwa “hukum adat adalah
hukum yang tidak bersumber kepada peraturan….( tetapi bersumber) dari
kekuasaan pemerintah Negara atau
salah satu sendinya dan kekuasaan
masyarakat sendiri. Pokok pangkal hukum adat
Indonesia adalah ugeran-
ugeran yang dapat disimpulkan
dari sumber tersebut
di atas dan timbul
langsung sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia
asli, tegasnya
sebagai pernyataan rasa keadilannya dalam perhubungan pamrih.
Unsur
lainnya yang tidak
begitu besar artinya atas luas pengaruhnya
ialah unsur-
unsur keagamaan, teristimewa
unsur-unsur keagamaan,
teristimewa unsur-
unsur yang dibawa
oleh agama islam”. (Djojodigoeno, 1958:8).
4. Sejak Dekrit 5 Juli 1959
Pada konstituante dalam masa UUDS 1950 tidak dapat
menyelesaikan tugas
pada waktunya, maka
Soekarno selaku Presiden RI / Panglima tertinggi
angkatan perang mengucapkan dekrit
tanggal 5 Juli 1959, yang menetapkan
pembubaran
konstituante, UUD 1945 berlaku lagi dan tidak berlakunya lagi
UUDS. Kemudian
berdasarkan ketetapan MPRS No. II/1960 maka hukum
adat menjadi
landasan tata hukum nasional.
Hal mana dapat kita lihat keberlakuannya
dalam praktek pengadilan,
misalnya putusan
Mahkamah Agung tanggal 23-08-1960 no. 225 K/Sip/1960
bahwa “hibah tidak memerlukan persetujuan
ahli
waris, hibah
tidak
mengakibatkan ahli waris dari si
penghibah tidak berhak lagi
atas harta
peninggalan dari si penghibah, hibah wasiat
tidak boleh merugikan
ahli
waris dari si
penghibah”
Putusan Mahkamah
Agung tersebut merupakan putusan dari hukum
adat
lokal yang berlaku
di
Jawa Tengah,
sedangkan putusan yang sifatnya
mengarah kepada hukum adat yang nasional misalnya putusan Mahkamah
Agung tanggal 01-11-1961 No. 179/ K/Sip /1961 yang menyatakan
bahwa
“anak perempuan dan
anak lelaki dari seorang peninggal warisan bersama
hak atas hak warisan
dalam
arti, bahwa bagian
anak lelaki adalah sama
dengan anak perempuan”. Tetapi putusan
seperti ini belum dapat berlaku di
kalangan masyarakat
adat yang masih berpegang teguh pada sistem mayorat
seperti di Lampung.
5. Sejak Orde Baru
Pada tanggal
30 September 1965 PKI melancarkan G.30.S.
kemudian
berdasarkan SP 11 Maret 1966 Jenderal
Soeharto membubarkan PKI.
Berdasarkan TAP MPRS No.
XXXIII Tahun 1967
Soeharto ditetapkan
sebagai pejabat
Presiden RI, kemudian
dikukuhkan sebagai Presiden RI
dalam Sidang Umum
MPRS ke V, maka mulailah zaman orde baru. Di masa
orde baru yaitu
pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam
undang-undang tersebut
tidak juga dengan tegas digunakan istilah hukum adat, namun tidak berarti
bahwa undang-undang
itu
terlepas
sama sekali dari hukum
adat
yang
terdapat dalam Bab
VII pasal 35-37 tentang harta benda dalam perkawinan.
Pada tanggal 15-17 Januari
1975 Badan
Pembinaan Hukum Nasional
(BPHAN) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
mengadakan seminar hukum adat yang menyimpulkan bahwa hukum adat
itu ialah “hukum
Indonesia asli” yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-
undangan RI, yang
di sana-sini mengandung unsur agama.
Serta hendaklah
hukum adat kekeluargaan dan kewarisan
lebih diperkembangkan ke arah
hukum yang bersifat
bilateral / parental yang memberikan kedudukan yang
sederajat antara
pria dan wanita.
3. Sebutkan pembagian wilayah menurut
Van Hollenhoven yaitu
19 lingkaran
atau lingkungan hukum adat di
Indonesia.
Jawab :
Pembagian wilayah menurut Van
Hollenhoven adalah sebagai berikut :
1. Aceh
2. Tanah Gayo – Alas dan Batak beserta Nias.
3. Daerah Minangkabau beserta Mentawai.
4. Sumatera Selatan.
5. Daerah Melayu (Sumatera Timur, Jambi, Riau).
6. Bangka dan Belitung.
7. Kalimantan.
8. Minahasa.
9. Gorontalo.
10. Daerah Toraja.
11. Sulawesi Selatan.
12. Kepulauan Ternate.
13. Maluku, Ambon.
14. Irian.
15. Kepulauan Timor
16. Bali dan Lombok (beserta
Sumbawa Barat).
17. Jawa Tengah dan Timur
(beserta Madura).
18. Daerah-daerah Swapraja
(Surakarta dan Yogyakarta).
19. Jawa Barat.
Penulis : T N F